Tugas tanggapan studi kasus tentang hak cipta mata kuliah Hukum Industri
Nama : Prisco Prima Sandy
NPM : 35416801
Kelas : 2ID05
Studi Kasus Pertama :
Kasus Pelanggaran Hak Merek Merek merupakan suatu tanda yang berupa gambar atau huruf yang berada dalam suatu produk, terdiri dari warna-warna yang beraneka ragam dengan tujuan agar dapat menarik perhatian konsumen dan meraih keuntungan maksimal. Merek tersebut digunakan di pasaran dalam sistem perdagangan baik berupa barang maupun jasa.
Fungsi dari merek dapat dikatakan sebagai pemberitahu dan pembanding produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan atau seseorang dengan produk dari perusahaan lain atau orang lain. Dapat dikatakan pula fungsi dari merek adalah sebagai jaminan mutu produk tersebut terutama dari segi kualitasnya. Oleh karena itu agar kepemilikan dan merek tersebut diakui oleh konsumen, maka dibutuhkan suatu hak merek agar tidak mudah di salah gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti menduplikasi merek tersebut dengan merubah beberapa kata dari merek tersebut tetapi jenis produk sama ataupun sebaliknya.
Kasus merek di Indonesia banyak terjadi baik bidang industri. Kasus-kasus tersebut bahkan ada yang menuai kontroversi dan ada yang masih saat ini tetap beredar di pasaran. Penulisan ini saya akan membahas salah satu contoh kasus merek yang beredar di pasaran, beserta analisis dan contoh-contoh lainnya.
1. Kasus sengketa sepeda motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama antara Krisma dan Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma diproduksi oleh PT.Tossa Sakti, sedangkan Honda Karisma diproduksi oleh PT.Astra Honda Motor. PT.Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT.Astra Honda Motor (AHM), karena PT.AHM perusahaan yang mampu memproduksi 1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT.Tossa Sakti pada motor Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di Jakarta.
Permasalahan kasus ini tidak ada hubungan dengan pemroduksian, tetapi masalah penggunaan nama Karisma oleh PT.AHM. Sang pemilik merek dagang Krisma (Gunawan Chandra), mengajukan gugatan kepada PT.AHM atas merek tersebut ke jalur hukum. Menurut beliau, PT.AHM telah menggunakan merek tersebut dan tidak sesuai dengan yang terdaftar di Direktorat Merek Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Bahkan PT.AHM diduga telah menggunakan merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huru Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.AHM memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana.
Akhirnya permohonan Gunawan Chandra dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga Negeri. Namun, PT.AHM tidak menerima keputusan dari hakim pengadilan, bahkan mengajukan keberatan melalui kasasi ke Mahkamah Agung. PT.AHM menuturkan bahwa sebelumnya Gunawan Chandra merupakan pihak ketiga atas merek tersebut. Bahkan, beliau menjiplak nama Krisma dari PT.AHM (Karisma) untuk sepeda motornya. Setelah mendapat teguran, beliau membuat surat pernyataan yang berisikan permintaan maaf dan pencabutan merek Krisma untuk tidak digunakan kembali, namun kenyataannya sampai saat ini beliau menggunakan merek tersebut.
Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT.Tossa Sakti (Gunawan Chandra) memenangkan kasus ini, sedangkan pihak PT.AHM merasa kecewa karena pihak pengadilan tidak mempertimbangkan atas tuturan yang disampaikan. Ternyata dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT.AHM, yaitu masalah desain huruf pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut tidak dilindungi hukum. Dari kasus tersebut, PT. AHM dikenakan pasal 61 dan 63 Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang merek sebagai sarana penyelundupan hukum.
Sengketa terhadap merek ini terjadi dari tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2011, hal ini menyebabkan penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen. Kini, PT.AHM telah mencabut merek Karisma tersebut dan menggantikan dengan desain baru yaitu Honda Supra X dengan bentuk hampir serupa dengan Honda Karisma.
Tanggapan saya :
Menurut saya dalam kasus ini sudah jelas bahwa pihak Astra Honda Motor yang telah menggunakan nama KHARISMA yang salah dapat dituntut karena telah membuat merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huru Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.Astra Honda Motor memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana. dan dampaknya adalah penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen.
Seharusnya PT. Astra Honda Motor tidak perlu menggunakan merk dagang dengan nama KHARISMA karena sudah jelas dan sudah lama PT. Tossa Sakti menggunakan merk dagang tersebut. Karena masih ada banyak nama yang bisa dijadikan merk dagang selain nama KHARISMA. Jadi sebaiknya sebelum memberi nama merek dagang sebaiknya melihat yang lain apakah nama merek dagang yang ingin digunakan sudah dipakai perusahaan atau orang lain agar tidak terjadinya nama yang sama dan dikatakan plagiat. Dan langkah kedua pikirkan matang-matang nama merek dagang yang ingin digunakan karena itu juga dapat mempengaruhi psikologi konsumen agar nanti nya ketika namanya bagus respon minat konsumen terhadap prosuk menjadi tinggi.
Selain itu juga menurut saya untuk langkah yang dilakukan oleh pihak PT. Tossa Sakti sudah benar karena sudah melakukan proses hukum. Karena meniru merk dagang perusahaan lain dapat menimbulkan konflik dan merugikan ke dua pihak dimana PT. Atra Honda Motor terkena sanksi pidana. Maka berbijaksanalah dalam setiap melakukan tindakan yang kita ambil agar tidak menimbulkan efek yang negatif di kemudia hari.
Studi Kasus ke 2 :
Pembajakan Software di Indonesia
Hak cipta mendapatkan sorotan khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan dengan jauh lebih mudah dalam kaitannya dengan fenomena konvergensi teknologi informasi yang terjadi. Tanpa perlindungan, obyek yang sangat bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti apa-apa, ketika si pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru yang memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran Hak cipta sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat ketiga terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan software. Tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang komputer sungguh sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program yang digunakan di Indonesia merupakan program yang disalin secara ilegal.
Dampak dari pembajakan tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional, hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih memprihatinkan lagi dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang ikut menandatangani Perjanjian “Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi Indonesia justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan Cina, sebagai Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan BSA (BussinessSoftwareAlliance).
Suburnya pembajakan software di Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih belum siap menerima hak cipta, selain itu pembajakan software sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sekali di negeri kita dan umumnya dilakukan tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu sisi hal ini disebabkan karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai hak dan kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software yang digunakan. Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa dikatakan diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia. Berikut adalah daftar harga software asli dari Microsoft:
01. CD Original Windows® 98 Second Edition US$75
02. CD Original Windows® Millennium Edition US$75
03. CD Original Windows® XP Home Edition US$75
04. CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175
05. CD Original Windows® XP Professional US$175
06. CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750
07. CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel, MS Outlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
08. CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS Word, MS Excel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.
Harga di atas tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan cd bajakan yang ada di Indonesia. Bagi kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita menemukan betapa sofware-software tersebut ataupun dalam bentuk collection yang dijual hanya dengan harga yang berkisar antara lima hingga beberapa puluh ribu rupiah di toko-toko komputer, ataupun perlengkapan aksesorisnya. Permasalahan yang cukup menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software bajakan ini tidak hanya melingkupi publik secara umum saja, namun pula mencakup kalangan korporat, pemerintahan, atau bahkan para penegak hukumnya sendiri pun bisa dikatakan belum bisa benar-benar dikatakan bersih dari penggunaan software bajakan.
Bagaimana sebenarnya cara yang bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective untuk melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan opensource ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang (secara makro) cukup besar. Umumnya sumber daya manusia yang dimiliki saat ini sudah terlatih untuk menggunakan software yang umum digunakan seperti Windows, Office, dan sejenisnya yang merupakan proprietary software, dan untuk menggunakan software proprietary secara legal membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi lain solusi ini barangkali terjawab dengan software opensource seperti Linux dengan StarOffice misalnya, namun hal ini juga membutuhkan biaya untuk training SDM yang saat ini dimiliki dan invisible-cost yang muncul akibat turunnya produktifitas selama masa adaptasi. Untuk mengurangi angka pembajakan software di Indonesia, pemerintah Indonesia akan menggiatkan kampanye melawan pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya masalah ini. Pemerintah juga akan meningkatkan frekuensi pembersihan (razia), memperberat hukuman terhadap para pelanggar Hak cipta dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah masuknya produk-produk bajakan ke Indonesia.
Salah satu langkah yang diambil pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk Tim Keppres 34, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan perundang-undangan hak cipta, merek dan paten.
Tanggapan Saya :
Indonesia termasuk kedalam negara dengan tingkat pembajakan software yang tinggi di dunia. Pembajakan software memang dilakukan secara sengaja karena masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan menengah, secara finansial tidak mampu membeli software yang asli. Karena software yang asli, tentunya lebih mahal dibandingkan dengan software bajakan yang bisa didapatkan secara gratis.
Memang secara finansial, ini sangat menguntungkan bagi pihak masyarakat. Akan tetapi, ini merupakan suatu kerugian besar bagi perusahaan yang memproduksi dan menjual software yang asli. Software asli tentunya menjadi tidak laku di pasaran, karena maraknya pembajakan siapapun dapat menggunakan software tersebut secar agratis. Untuk menghindari pembajakan tersebut sebaiknya perusahaan memproduksi software asli yang harganya terjangkau bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat membeli tanpa membajaknya. Bahkan sebaiknya perusahaan membuat software yang bersifat open source atau free. Bagi masyarakat yang biasanya menggunakan software bajakan sebaiknya beralih ke software asli, karena software yang asli lebih lengkap dibandingkan dengan software bajakan.
Software bajakan biasanya, tidak mempunyai lisensi yang jelas karena hampir semua software memerlukan aktivasi serta pembaruan (update) yang langsung terkoneksi di internet. Apabila software tidak diaktivasi tentunya software tersebut menjadi kurang lengkap bahkan tidak dapat digunakan lagi. Memang kebanyakan software-software bajakan yang beredar di Indonesia adalah software cracked, bisa dengan keygen(key generator), patch, atau model cracking lainnya. Namun hal ini termasuk kedalam pelanggaran hak cipta si pembuat/produsen software tersebut. Oleh karena itu sebaiknya masyarakat menggunakan software yang asli daripada yang bajakan.
Jadi kesimpulannya pelanggaran hak cipta dalam bentuk apapun sangat merugikan untuk si penciptanya. Bijaksanalah dalam melakukan sesuatu lebih baik menciptakan dari pada mem plagiat suatu karya orang lain.
NPM : 35416801
Kelas : 2ID05
Studi Kasus Pertama :
Kasus Pelanggaran Hak Merek Merek merupakan suatu tanda yang berupa gambar atau huruf yang berada dalam suatu produk, terdiri dari warna-warna yang beraneka ragam dengan tujuan agar dapat menarik perhatian konsumen dan meraih keuntungan maksimal. Merek tersebut digunakan di pasaran dalam sistem perdagangan baik berupa barang maupun jasa.
Fungsi dari merek dapat dikatakan sebagai pemberitahu dan pembanding produk yang dihasilkan oleh suatu perusahaan atau seseorang dengan produk dari perusahaan lain atau orang lain. Dapat dikatakan pula fungsi dari merek adalah sebagai jaminan mutu produk tersebut terutama dari segi kualitasnya. Oleh karena itu agar kepemilikan dan merek tersebut diakui oleh konsumen, maka dibutuhkan suatu hak merek agar tidak mudah di salah gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, seperti menduplikasi merek tersebut dengan merubah beberapa kata dari merek tersebut tetapi jenis produk sama ataupun sebaliknya.
Kasus merek di Indonesia banyak terjadi baik bidang industri. Kasus-kasus tersebut bahkan ada yang menuai kontroversi dan ada yang masih saat ini tetap beredar di pasaran. Penulisan ini saya akan membahas salah satu contoh kasus merek yang beredar di pasaran, beserta analisis dan contoh-contoh lainnya.
1. Kasus sengketa sepeda motor Tossa Krisma dengan Honda Karisma Kasus ini berawal dari kesalahan penemu merek. Dilihat dengan seksama antara Krisma dan Karisma memiliki penyebutan kata yang sama. Tossa Krisma diproduksi oleh PT.Tossa Sakti, sedangkan Honda Karisma diproduksi oleh PT.Astra Honda Motor. PT.Tossa Sakti tidak dapat dibandingkan dengan PT.Astra Honda Motor (AHM), karena PT.AHM perusahaan yang mampu memproduksi 1.000.000 unit sepeda motor per tahun. Sedangkan PT.Tossa Sakti pada motor Tossa Krisma tidak banyak konsumen yang mengetahuinya, tetapi perusahaan tersebut berproduksi di kota-kota Jawa Tengah, dan hanya beberapa unit di Jakarta.
Permasalahan kasus ini tidak ada hubungan dengan pemroduksian, tetapi masalah penggunaan nama Karisma oleh PT.AHM. Sang pemilik merek dagang Krisma (Gunawan Chandra), mengajukan gugatan kepada PT.AHM atas merek tersebut ke jalur hukum. Menurut beliau, PT.AHM telah menggunakan merek tersebut dan tidak sesuai dengan yang terdaftar di Direktorat Merek Dirjen Hak Kekayaan Intelektual Departemen Hukum dan HAM. Bahkan PT.AHM diduga telah menggunakan merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huru Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.AHM memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana.
Akhirnya permohonan Gunawan Chandra dikabulkan oleh hakim Pengadilan Niaga Negeri. Namun, PT.AHM tidak menerima keputusan dari hakim pengadilan, bahkan mengajukan keberatan melalui kasasi ke Mahkamah Agung. PT.AHM menuturkan bahwa sebelumnya Gunawan Chandra merupakan pihak ketiga atas merek tersebut. Bahkan, beliau menjiplak nama Krisma dari PT.AHM (Karisma) untuk sepeda motornya. Setelah mendapat teguran, beliau membuat surat pernyataan yang berisikan permintaan maaf dan pencabutan merek Krisma untuk tidak digunakan kembali, namun kenyataannya sampai saat ini beliau menggunakan merek tersebut.
Hasil dari persidangan tersebut, pihak PT.Tossa Sakti (Gunawan Chandra) memenangkan kasus ini, sedangkan pihak PT.AHM merasa kecewa karena pihak pengadilan tidak mempertimbangkan atas tuturan yang disampaikan. Ternyata dibalik kasus ini terdapat ketidakadilan bagi PT.AHM, yaitu masalah desain huruf pada Honda Karisma bahwa pencipta dari desain dan seni lukis huruf tersebut tidak dilindungi hukum. Dari kasus tersebut, PT. AHM dikenakan pasal 61 dan 63 Undang-Undang No.15 Tahun 2001 tentang merek sebagai sarana penyelundupan hukum.
Sengketa terhadap merek ini terjadi dari tahun 2005 dan berakhir pada tahun 2011, hal ini menyebabkan penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen. Kini, PT.AHM telah mencabut merek Karisma tersebut dan menggantikan dengan desain baru yaitu Honda Supra X dengan bentuk hampir serupa dengan Honda Karisma.
Tanggapan saya :
Menurut saya dalam kasus ini sudah jelas bahwa pihak Astra Honda Motor yang telah menggunakan nama KHARISMA yang salah dapat dituntut karena telah membuat merek tidak sesuai prosedur, karena aslinya huru Karisma di desain dengan huruf balok dan berwarna hitam putih, sedangkan PT.Astra Honda Motor memproduksi motor tersebut dengan tulisan huruf sambung dengan desain huruf berwana. dan dampaknya adalah penurunan penjualan Honda Karisma dan pengaruh psikologis terhadap konsumen.
Seharusnya PT. Astra Honda Motor tidak perlu menggunakan merk dagang dengan nama KHARISMA karena sudah jelas dan sudah lama PT. Tossa Sakti menggunakan merk dagang tersebut. Karena masih ada banyak nama yang bisa dijadikan merk dagang selain nama KHARISMA. Jadi sebaiknya sebelum memberi nama merek dagang sebaiknya melihat yang lain apakah nama merek dagang yang ingin digunakan sudah dipakai perusahaan atau orang lain agar tidak terjadinya nama yang sama dan dikatakan plagiat. Dan langkah kedua pikirkan matang-matang nama merek dagang yang ingin digunakan karena itu juga dapat mempengaruhi psikologi konsumen agar nanti nya ketika namanya bagus respon minat konsumen terhadap prosuk menjadi tinggi.
Selain itu juga menurut saya untuk langkah yang dilakukan oleh pihak PT. Tossa Sakti sudah benar karena sudah melakukan proses hukum. Karena meniru merk dagang perusahaan lain dapat menimbulkan konflik dan merugikan ke dua pihak dimana PT. Atra Honda Motor terkena sanksi pidana. Maka berbijaksanalah dalam setiap melakukan tindakan yang kita ambil agar tidak menimbulkan efek yang negatif di kemudia hari.
Studi Kasus ke 2 :
Pembajakan Software di Indonesia
Hak cipta mendapatkan sorotan khusus karena hak tersebut dapat disalahgunakan dengan jauh lebih mudah dalam kaitannya dengan fenomena konvergensi teknologi informasi yang terjadi. Tanpa perlindungan, obyek yang sangat bernilai tinggi ini dapat menjadi tidak berarti apa-apa, ketika si pencipta atau penemu tidak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkannya selama proses penciptaan ketika orang lain justru yang memperoleh manfaat ekonomis dari karyanya. Di Indonesia pelanggaran Hak cipta sudah dalam taraf yang sangat memalukan. Indonesia mendudki peringkat ketiga terbesar dunia setelah Ukraine dan China dalam soal pembajakan software. Tingkat pembajakan yang terjadi di Indonesia dalam bidang komputer sungguh sangat memprihatinkan. Sekitar lebih dari 90% program yang digunakan di Indonesia merupakan program yang disalin secara ilegal.
Dampak dari pembajakan tersebut menurunkan citra dunia Teknologi Informasi Indonesia pada umumnya. Hal ini menurunkan tingkat kepercayaan para investor, dan bahkan juga menurunkan tingkat kepercayaan calon pengguna tenaga TI Indonesia. Pada saat ini bisa dikatakan tenaga TI Indonesia belum dapat dipercaya oleh pihak Internasional, hal ini tidak terlepas dari citra buruk akibat pembajakan ini. Yang lebih memprihatinkan lagi dikarenakan Indonesia merupakan Negara Asia pertama yang ikut menandatangani Perjanjian “Internet Treaty” di Tahun 1997. Tapi Indonesia justru masuk peringkat tiga besar dunia setelah Vietnam dan Cina, sebagai Negara paling getol membajak software berdasarkan laporan BSA (BussinessSoftwareAlliance).
Suburnya pembajakan software di Indonesia disebabkan karena masyarakatnya masih belum siap menerima hak cipta, selain itu pembajakan software sepertinya sudah menjadi hal yang biasa sekali di negeri kita dan umumnya dilakukan tanpa merasa bersalah. Bukan apa-apa, di satu sisi hal ini disebabkan karena masih minimnya kesadaran masyarakat terhadap nilai-nilai hak dan kekayaan intelektual yang terdapat pada setiap software yang digunakan. Di sisi lain, harga-harga software propriatery tersebut bisa dikatakan diluar jangkauan kebanyakan pengguna di indonesia. Berikut adalah daftar harga software asli dari Microsoft:
01. CD Original Windows® 98 Second Edition US$75
02. CD Original Windows® Millennium Edition US$75
03. CD Original Windows® XP Home Edition US$75
04. CD Original Windows® 2000 Professional 1-2CPU US$175
05. CD Original Windows® XP Professional US$175
06. CD Original Windows® 2000 Server 1-4CPU for 5 CALs US$750
07. CD Original Office 2000 SBE Edition (includes MS Word, MS Excel, MS Outlook, MS Publisher,Small Business Tools) US$210
08. CD Original Office XP Small Business Win32 English (includes MS Word, MS Excel, MS Outlook, MS Publisher) US$200.
Harga di atas tentunya sangat jauh jika dibandingkan dengan cd bajakan yang ada di Indonesia. Bagi kita pun, rasanya seperti sudah sangat biasa kita menemukan betapa sofware-software tersebut ataupun dalam bentuk collection yang dijual hanya dengan harga yang berkisar antara lima hingga beberapa puluh ribu rupiah di toko-toko komputer, ataupun perlengkapan aksesorisnya. Permasalahan yang cukup menggelitik adalah kenyataan bahwa penggunaan software bajakan ini tidak hanya melingkupi publik secara umum saja, namun pula mencakup kalangan korporat, pemerintahan, atau bahkan para penegak hukumnya sendiri pun bisa dikatakan belum bisa benar-benar dikatakan bersih dari penggunaan software bajakan.
Bagaimana sebenarnya cara yang bisa menjadi pemecahan terbaik dan cost-efective untuk melegalisasikan penggunaan software tersebut? Baik menggunakan opensource ataupun proprietary sama-sama membutuhkan investasi yang (secara makro) cukup besar. Umumnya sumber daya manusia yang dimiliki saat ini sudah terlatih untuk menggunakan software yang umum digunakan seperti Windows, Office, dan sejenisnya yang merupakan proprietary software, dan untuk menggunakan software proprietary secara legal membutuhkan biaya yang cukup besar. Di sisi lain solusi ini barangkali terjawab dengan software opensource seperti Linux dengan StarOffice misalnya, namun hal ini juga membutuhkan biaya untuk training SDM yang saat ini dimiliki dan invisible-cost yang muncul akibat turunnya produktifitas selama masa adaptasi. Untuk mengurangi angka pembajakan software di Indonesia, pemerintah Indonesia akan menggiatkan kampanye melawan pelanggaran Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dan akan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya masalah ini. Pemerintah juga akan meningkatkan frekuensi pembersihan (razia), memperberat hukuman terhadap para pelanggar Hak cipta dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah masuknya produk-produk bajakan ke Indonesia.
Salah satu langkah yang diambil pemerintah Indonesia adalah dengan membentuk Tim Keppres 34, yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan perundang-undangan hak cipta, merek dan paten.
Tanggapan Saya :
Indonesia termasuk kedalam negara dengan tingkat pembajakan software yang tinggi di dunia. Pembajakan software memang dilakukan secara sengaja karena masyarakat Indonesia yang rata-rata berpenghasilan menengah, secara finansial tidak mampu membeli software yang asli. Karena software yang asli, tentunya lebih mahal dibandingkan dengan software bajakan yang bisa didapatkan secara gratis.
Memang secara finansial, ini sangat menguntungkan bagi pihak masyarakat. Akan tetapi, ini merupakan suatu kerugian besar bagi perusahaan yang memproduksi dan menjual software yang asli. Software asli tentunya menjadi tidak laku di pasaran, karena maraknya pembajakan siapapun dapat menggunakan software tersebut secar agratis. Untuk menghindari pembajakan tersebut sebaiknya perusahaan memproduksi software asli yang harganya terjangkau bagi masyarakat luas, sehingga masyarakat dapat membeli tanpa membajaknya. Bahkan sebaiknya perusahaan membuat software yang bersifat open source atau free. Bagi masyarakat yang biasanya menggunakan software bajakan sebaiknya beralih ke software asli, karena software yang asli lebih lengkap dibandingkan dengan software bajakan.
Software bajakan biasanya, tidak mempunyai lisensi yang jelas karena hampir semua software memerlukan aktivasi serta pembaruan (update) yang langsung terkoneksi di internet. Apabila software tidak diaktivasi tentunya software tersebut menjadi kurang lengkap bahkan tidak dapat digunakan lagi. Memang kebanyakan software-software bajakan yang beredar di Indonesia adalah software cracked, bisa dengan keygen(key generator), patch, atau model cracking lainnya. Namun hal ini termasuk kedalam pelanggaran hak cipta si pembuat/produsen software tersebut. Oleh karena itu sebaiknya masyarakat menggunakan software yang asli daripada yang bajakan.
Jadi kesimpulannya pelanggaran hak cipta dalam bentuk apapun sangat merugikan untuk si penciptanya. Bijaksanalah dalam melakukan sesuatu lebih baik menciptakan dari pada mem plagiat suatu karya orang lain.
Komentar
Posting Komentar